Ketegangan meningkat di tubuh BRICS setelah China secara terbuka mendukung Pakistan. India dikabarkan mempertimbangkan hengkang dari aliansi tersebut sebagai respons atas tekanan geopolitik dan perbedaan visi strategis. (Postoasts.com)

Kelompok BRICS—yang awalnya dibentuk sebagai aliansi ekonomi strategis antara Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan—kini menghadapi ujian geopolitik yang semakin kompleks. Ketegangan antara India dan China, yang diperparah oleh kedekatan Beijing dengan Pakistan, telah mengancam posisi India dalam kelompok ini. 

Dalam konteks meningkatnya polarisasi global dan tekanan eksternal, termasuk dari Amerika Serikat, wacana India untuk mundur dari BRICS tidak lagi terdengar mustahil.

Salah satu akar persoalan adalah dukungan terang-terangan China terhadap Pakistan—termasuk mendukung aspirasi Islamabad untuk bergabung dengan BRICS. 

Bagi India, hal ini merupakan pelanggaran langsung terhadap kepentingan nasionalnya, terutama karena Pakistan secara aktif berupaya menginternasionalisasi isu Kashmir, sebuah wilayah yang menjadi titik konflik utama antara kedua negara.

Selain itu, konflik perbatasan yang tak kunjung selesai antara India dan China, khususnya di wilayah Depsang Plains dan Demchok di Himalaya, terus menambah bara dalam hubungan kedua raksasa Asia ini. 

Meskipun telah dicapai beberapa kesepakatan untuk mengurangi ketegangan militer, kepercayaan strategis antara keduanya tetap rendah.

Di luar BRICS, tekanan dari Amerika Serikat—terutama di bawah pemerintahan Donald Trump yang vokal terhadap dedolarisasi—menempatkan India dalam posisi sulit. 

Ancaman tarif tinggi terhadap negara-negara yang berupaya melemahkan dominasi dolar AS menjadi pertimbangan strategis bagi New Delhi, yang sedang berupaya memperkuat hubungan dagang dan pertahanan dengan Washington.

Saat ini, India tengah menjajaki perjanjian dagang bilateral dengan AS yang mencakup isu-isu vital seperti transfer teknologi, energi, dan keamanan digital. 

Keterlibatan India dalam agenda dedolarisasi yang didorong China dan Rusia dalam BRICS dapat berisiko merusak kemitraannya dengan Barat, sesuatu yang ingin dihindari oleh pemerintah Narendra Modi.

Meskipun belum ada pengumuman resmi, spekulasi bahwa India akan mempertimbangkan mundur dari BRICS mulai menguat di kalangan analis internasional. 

India kini merasa berada dalam posisi minoritas dalam proses pengambilan keputusan, terutama karena perbedaan pandangan ideologis dan strategis dengan Rusia dan China.

Sebagai ekonomi terbesar ketiga di Asia dan kekuatan demografis yang signifikan, India memegang peranan kunci dalam kredibilitas BRICS. 

Jika India memutuskan keluar, hal ini tidak hanya akan mengguncang struktur internal BRICS, tetapi juga dapat mengurangi daya tawar aliansi ini sebagai alternatif tatanan global yang didominasi Barat.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS 2025 di Brasil akan menjadi titik balik penting. Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva diperkirakan akan memainkan peran diplomatik untuk menjembatani ketegangan yang ada. Namun, semakin jelas bahwa blok ini mulai terbelah antara dua kubu: pro-Barat (India, Brasil, Afrika Selatan) dan anti-Barat (China, Rusia, Iran).

Pertanyaan besarnya: apakah BRICS dapat mempertahankan narasi persatuan ketika anggotanya semakin berseberangan dalam prioritas geopolitik dan ekonomi?

BRICS lahir dari semangat multipolaritas dan kolaborasi Selatan-Global. Namun realitas politik menunjukkan bahwa ambisi kolektif tidak mudah diwujudkan dalam dunia yang semakin terfragmentasi. 

India, dengan kepentingan nasional yang beririsan tajam dengan dinamika global, berada di titik kritis: tetap bertahan dan memperjuangkan visinya dari dalam, atau keluar dan membentuk poros baru yang lebih selaras dengan kepentingan strategisnya. 

Apapun pilihannya, dunia akan memperhatikan langkah India—karena masa depan BRICS, dan mungkin tatanan global, turut bergantung padanya.