![]() |
Investasi jumbo Rp377 triliun di Kilang Tuban oleh Rosneft dan Pertamina akan ditentukan pada kuartal IV 2025, di tengah tantangan geopolitik dan teknis. (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi) |
Proyek Grass Root Refinery (GRR) Tuban kembali menjadi sorotan publik dan pelaku industri energi di tengah dinamika global yang kian kompleks. Dengan nilai investasi yang kini diperkirakan mencapai US$ 25–28 miliar, kilang yang digadang-gadang akan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor BBM ini justru menghadapi tantangan geopolitik, teknis, dan finansial yang semakin rumit.
Sanksi Barat terhadap Rusia sejak 2022 telah memaksa Rosneft—mitra utama Pertamina dalam proyek ini—untuk beradaptasi dengan skema keuangan dan teknologi non-Barat.
Seluruh transaksi kini dilakukan dalam mata uang Yuan China (RMB) guna menghindari sistem SWIFT, sementara dukungan teknologi disuplai oleh China National Petroleum Corporation (CNPC), menggantikan peran sebelumnya dari penyedia teknologi Eropa.
Langkah ini, meski terlihat sebagai solusi taktis, menimbulkan pertanyaan strategis: seberapa tahan proyek ini terhadap eskalasi sanksi lanjutan, terutama jika G7 memperketat pembatasan pasokan peralatan dan pendanaan ke perusahaan Rusia dan afiliasinya?
Menteri ESDM Arifin Tasrif, dalam pernyataannya bulan Mei 2025, menegaskan bahwa proyek ini bersifat "critical untuk tekan impor BBM yang masih 30% kebutuhan nasional." Ia menambahkan bahwa sanksi bukan hambatan selama masih tersedia "solusi finansial alternatif."
Namun, pernyataan tersebut patut dibaca dalam konteks politik energi nasional, yang seringkali menempatkan kepentingan jangka pendek (seperti neraca perdagangan dan subsidi energi) di atas perhitungan keekonomian jangka panjang.
Dengan biaya yang melonjak hingga 22% dari estimasi awal, sebagian besar disebabkan oleh kenaikan harga baja global (+17% YoY) serta biaya mitigasi risiko sanksi, proyeksi pengembalian investasi (ROI) semakin melambat.
Saat ini, ROI baru diperkirakan tercapai pada tahun ke-15 operasional—jauh dari standar industri yang umumnya berkisar di angka 8–10 tahun.
Hal ini memunculkan potensi ketertarikan investor baru yang lebih selektif. Pertamina sendiri dikabarkan tengah membuka jalur diplomatik energi dengan Saudi Aramco dan ExxonMobil, masing-masing untuk skema equity swap dan transfer teknologi pemrosesan (catalytic cracking).
Apakah ini pertanda bahwa Pertamina mulai mempersiapkan "Plan B" jika Rosneft tersandung lebih jauh?
Di sisi lain, potensi ekonomi proyek ini tetap menggiurkan. Saat beroperasi penuh, GRR Tuban diperkirakan mampu menyumbang Rp 15–20 triliun per tahun ke PDB, dengan asumsi harga minyak stabil di US$ 80/barel.
Selain itu, proyek ini akan menyerap 20.000 tenaga kerja selama konstruksi dan menciptakan 2.500 lapangan kerja tetap—kontribusi signifikan untuk ekonomi kawasan Jawa Timur.
Namun, manfaat ekonomi ini tidak boleh menutupi persoalan struktural yang belum terpecahkan, seperti ketersediaan air bersih di sekitar lokasi kilang, yang masih menjadi keluhan warga dan tantangan teknis utama.
Tak bisa diabaikan pula adalah dimensi ekologis proyek ini. Lokasi GRR Tuban berada di kawasan rawan gempa karena berada di jalur subduksi lempeng Jawa, serta berdekatan dengan Terumbu Karang Tuban, bagian dari Coral Triangle Initiative yang dikenal sebagai hotspot keanekaragaman hayati laut dunia.
Organisasi lingkungan seperti WALHI menuntut transparansi penuh atas revisi AMDAL 2024, yang hingga kini belum dipublikasikan. Tanpa jaminan perlindungan lingkungan yang memadai, proyek ini bisa menimbulkan lebih banyak masalah jangka panjang ketimbang manfaat jangka pendeknya.
Meski target Final Investment Decision (FID) tetap dijadwalkan untuk kuartal IV 2025, sejumlah sinyal menunjukkan kemungkinan penundaan ke 2026. Penyebab utamanya adalah proses due diligence yang diperpanjang serta negosiasi ulang skema pembiayaan dengan bank-bank asal China, sebagaimana diungkap oleh South China Morning Post pada April 2025.
Beberapa analis menilai bahwa ini bukan sekadar hambatan teknis, tetapi bagian dari kalkulasi politik dalam menghadapi ketidakpastian geopolitik global.
GRR Tuban adalah potret nyata dari dilema transisi energi di negara berkembang: ambisi besar bertemu dengan realitas kompleks, dari dinamika geopolitik hingga krisis iklim.
Proyek ini bisa menjadi titik balik kemandirian energi Indonesia—atau justru menjadi pelajaran mahal tentang pentingnya tata kelola risiko dan keberlanjutan.
Rekomendasi ke depan: pemerintah dan pemangku kepentingan harus terus memantau perkembangan kebijakan sanksi G7, membuka opsi diversifikasi mitra, dan—yang paling penting—memastikan laporan AMDAL revisi 2024 segera dipublikasikan untuk mendapatkan legitimasi publik dan ilmiah.
0Komentar