Israel mengancam akan mencaplok permukiman di Tepi Barat dan Lembah Yordan jika Inggris dan Prancis mengakui Negara Palestina. (Menahem/AFP)

Ketegangan diplomatik antara Israel dan sejumlah negara Eropa meningkat setelah Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Sa’ar, mengeluarkan pernyataan keras menanggapi rencana pengakuan sepihak atas Negara Palestina. Ia menegaskan bahwa Israel siap mencaplok permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Lembah Yordan sebagai bentuk pembalasan terhadap langkah yang dinilai merugikan kepentingan Israel.

"Setiap tindakan sepihak yang diambil terhadap Israel akan ditanggapi dengan tindakan sepihak oleh Israel," ujar Sa’ar dalam pernyataan resminya yang disiarkan media pemerintah. 

Ia juga menyampaikan bahwa klaim kedaulatan atas wilayah-wilayah yang disengketakan tidak akan menunggu persetujuan internasional jika pengakuan terhadap Palestina terus bergulir.

Konferensi global dan gelombang dukungan bagi Palestina

Pernyataan Sa’ar muncul menjelang konferensi internasional yang direncanakan oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron di New York pada pertengahan Juni. 

Konferensi ini dimaksudkan untuk menggalang dukungan global terhadap pengakuan resmi terhadap Negara Palestina dan mendapat dukungan dari negara-negara Arab, termasuk Arab Saudi.

Namun, inisiatif ini mendapat penolakan keras dari pemerintah Israel. Mereka menuduh Macron melakukan tindakan “penipuan diplomatik” karena sebelumnya meyakinkan bahwa tidak akan ada langkah pengakuan sepihak yang diambil.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga mempertegas sikap penolakan terhadap pembentukan negara Palestina. 

“Negara Palestina di jantung tanah air kita akan menjadi ancaman bagi keberadaan Israel,” katanya dalam sebuah pertemuan kabinet.

Di tengah ketegangan tersebut, Malta mengumumkan bahwa negara itu akan mengakui Negara Palestina pada bulan depan, tepat setelah konferensi yang dipimpin Prancis. 

Perdana Menteri Malta Robert Abela menyebut keputusan ini sebagai tanggung jawab moral terhadap penderitaan rakyat Gaza.

"Kita tidak bisa menutup mata terhadap tragedi kemanusiaan ini yang semakin parah setiap hari," ucap Abela. Ia juga mengonfirmasi bahwa Malta akan memberikan suaka kepada Dr. Alaa Al-Najjar, seorang dokter asal Gaza yang kehilangan sembilan anaknya dalam serangan udara Israel di Khan Younis.

Pengakuan dari Malta akan menambah jumlah negara yang mendukung kedaulatan Palestina, yang saat ini telah mencapai 149 dari 193 anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). 

Otoritas Palestina menyambut baik langkah Malta sebagai wujud nyata dari komitmen terhadap hukum internasional dan keadilan bagi rakyat Palestina.

Tragedi kemanusiaan dan respons keras Israel

Sementara itu, laporan terbaru menunjukkan bahwa Israel telah membangun tujuh permukiman baru di Area B Tepi Barat – sebuah wilayah yang seharusnya berada di bawah kendali administratif Palestina berdasarkan Perjanjian Oslo. 

Ini merupakan pertama kalinya sejak 1993 Israel mendirikan permukiman di wilayah tersebut, sebuah tindakan yang menuai kecaman luas dari komunitas internasional.

Di Gaza, tragedi kemanusiaan terus berlangsung. Menurut data dari Kementerian Kesehatan Gaza, jumlah korban tewas akibat serangan Israel telah mencapai 54.000 jiwa, termasuk lebih dari 16.500 anak-anak. 

Salah satu kisah paling memilukan datang dari Dr. Alaa Al-Najjar, yang menjadi simbol penderitaan rakyat Gaza setelah sembilan dari sepuluh anaknya tewas dalam serangan udara.

"Dari 10 anaknya, hanya satu yang selamat. Ini adalah salah satu tragedi paling memilukan sejak konflik dimulai," demikian dilaporkan The Guardian dalam ulasan terbarunya.

Israel menanggapi kritik internasional dengan keras. Menteri Sa’ar mengaitkan berbagai kecaman global terhadap Israel dengan antisemitisme yang terselubung, dan menyebut bahwa banyak pemimpin dunia telah “menyerah pada propaganda teroris Palestina.” 

Ia juga merujuk pada insiden penyerangan terhadap dua pegawai kedutaan Israel di Washington, yang dilakukan oleh aktivis pro-Palestina, sebagai bukti meningkatnya ancaman terhadap kepentingan Israel secara global.

Ancaman aneksasi yang disuarakan Israel, konferensi internasional di bawah inisiatif Prancis, serta langkah pengakuan dari negara-negara seperti Malta memperlihatkan semakin dalamnya jurang diplomatik dalam isu Palestina. 

Di tengah tekanan internasional, pertanyaan utama tetap menggantung: akankah pengakuan terhadap Negara Palestina membawa perdamaian, atau justru memperbesar potensi konflik?