![]() |
Indonesia hentikan impor beras dan jagung pada 2025, capai cadangan beras 4 juta ton, dan rencanakan ekspor ke Malaysia. (Foto: Agro Indonesia) |
Pada Mei 2025, Indonesia mencatatkan tonggak sejarah dalam sektor pertanian dengan keputusan berani untuk menghentikan impor beras dan jagung. Kebijakan ini, yang diumumkan oleh Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono, tidak hanya mencerminkan kepercayaan diri pemerintah terhadap produksi pangan dalam negeri, tetapi juga mengguncang dinamika pasar pangan global.
Dengan cadangan beras nasional yang mencapai 4 juta ton—tertinggi sejak era Orde Baru—dan rencana ekspor jagung serta beras ke negara tetangga, Indonesia sedang menapaki jalur menuju swasembada pangan.
Artikel ini mengulas langkah strategis pemerintah, dampaknya terhadap pasar domestik dan global, serta tantangan yang harus dihadapi untuk mempertahankan momentum ini.
Kebangkitan produksi pangan dalam negri
Keputusan untuk tidak mengimpor beras dan jagung pada musim panen 2025 didukung oleh lonjakan produksi yang signifikan. Data Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa produksi beras nasional meningkat sebesar 51% dan jagung melonjak hampir 40% pada kuartal pertama 2025 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Peningkatan ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Investasi besar-besaran dalam modernisasi irigasi, distribusi pupuk bersubsidi, dan adopsi teknologi pertanian seperti varietas unggul dan mekanisasi menjadi pendorong utama.
Wamentan Sudaryono menegaskan, “Indonesia tidak impor beras, insyaallah tidak. Dan karena sampai dengan bulan Mei ini kita tidak impor beras, harga beras dunia harganya jatuh, jauh lebih murah.” Pernyataan ini mencerminkan optimisme pemerintah yang didukung oleh cadangan beras nasional yang mencapai 4 juta ton per 30 Mei 2025.
Angka ini tidak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan domestik—yang berkisar antara 14 hingga 15 juta ton per tahun—tetapi juga memberikan bantalan strategis untuk menghadapi potensi krisis pangan.
Daerah sentra produksi seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan menjadi tulang punggung peningkatan produksi beras, sementara Gorontalo dan Nusa Tenggara Timur menonjol sebagai penghasil jagung.
“Tadi pagi kami rapat dengan Gubernur Gorontalo, beberapa daerah sentra jagung ini kemungkinan akan kita ekspor. Jadi kita jadi ekspor jagung, bukan impor lagi,” ujar Sudaryono, menandakan pergeseran paradigma dari ketergantungan impor menuju surplus produksi.
Dampak global: penurunan harga beras dunia
![]() |
Ilustrasi ekspor impor. (Dok. Bloomberg) |
Keputusan Indonesia untuk menghentikan impor beras memiliki efek riak yang signifikan di pasar global. Sebagai salah satu importir beras terbesar dunia sebelum kebijakan ini, langkah Indonesia menciptakan kelebihan pasokan (oversupply) di pasar internasional.
Akibatnya, harga beras dunia turun drastis dari sekitar US$700 per ton menjadi US$400 per ton. “Begitu tidak impor, beras dunia oversupply, begitu oversupply harga beras dunia turun,” jelas Sudaryono.
Penurunan ini memberikan tekanan bagi negara-negara eksportir seperti Thailand dan Vietnam, yang kini harus menyesuaikan strategi mereka di tengah pasar yang semakin kompetitif.
Namun, dampak ini juga membuka peluang baru bagi Indonesia. Dengan surplus produksi, pemerintah mulai merancang ekspor komoditas pangan, termasuk jagung ke negara seperti Filipina dan Vietnam, serta beras ke Malaysia.
Arahan Presiden Prabowo Subianto untuk mengekspor beras ke Malaysia menjadi bagian dari strategi diplomasi ekonomi untuk memperkuat hubungan bilateral. Malaysia, yang mengimpor sekitar 30% kebutuhan berasnya, menjadi pasar strategis dengan target ekspor awal sebanyak 100.000 ton pada 2025.
Manfaat dan tantangan di dalam negeri
Di dalam negeri, kebijakan ini membawa angin segar bagi petani dan stabilitas pasar. Harga beras medium di pasar domestik tetap stabil di kisaran Rp12.000–Rp14.000 per kilogram, memberikan kepastian bagi konsumen.
Bagi petani, peningkatan produksi berarti pendapatan yang lebih baik, terutama di daerah sentra seperti Gorontalo dan Jawa Timur. Pemerintah juga mengalokasikan Rp25 triliun pada APBN 2025 untuk subsidi pupuk dan benih, naik 15% dari tahun sebelumnya, guna mendukung keberlanjutan produksi.
Namun, tantangan tetap ada. Infrastruktur logistik yang belum merata menyebabkan disparitas harga di daerah terpencil. Seorang analis ekonomi pertanian mengingatkan, “Penghentian impor beras adalah langkah berani, tetapi pemerintah harus memastikan distribusi yang merata untuk mencegah disparitas harga.”
Selain itu, ancaman perubahan iklim, seperti prediksi curah hujan tinggi akibat fenomena La Niña pada akhir 2025, dapat mengganggu hasil panen. Ketergantungan pada pupuk bersubsidi juga menjadi risiko, terutama jika harga bahan baku pupuk global meningkat akibat gangguan rantai pasok.
Menuju lumbung pangan Asia Tenggara
Pemerintah optimis dapat mencapai swasembada pangan dalam lima tahun ke depan, dengan fokus pada komoditas strategis seperti beras, jagung, dan gula. Menteri Pertanian menyatakan, “Kami tidak hanya fokus pada swasembada, tetapi juga ingin menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan Asia Tenggara.”
![]() |
Gudang Bulog. (Foto: Bulog) |
Untuk mewujudkan visi ini, pemerintah sedang mengembangkan lumbung pangan nasional di Kalimantan Tengah dan Papua, serta mendorong kerja sama dengan sektor swasta untuk investasi di teknologi pertanian seperti smart farming.
Namun, keberhasilan jangka panjang bergantung pada kemampuan pemerintah untuk mengatasi tantangan struktural. Perbaikan infrastruktur logistik, pengembangan sistem irigasi tahan bencana, dan diversifikasi sumber pupuk menjadi langkah krusial.
Pelatihan bagi petani dalam pengelolaan pascapanen juga diperlukan untuk meminimalkan kerugian hasil panen, yang masih menjadi masalah di beberapa daerah.
Kebijakan penghentian impor beras dan jagung pada Mei 2025 menandai babak baru dalam perjalanan Indonesia menuju swasembada pangan. Dengan cadangan beras yang melimpah, rencana ekspor yang ambisius, dan dampak nyata pada pasar global, Indonesia menunjukkan bahwa kemandirian pangan bukan lagi sekadar wacana.
Namun, tantangan seperti perubahan iklim, logistik, dan ketergantungan pada pupuk memerlukan solusi terpadu agar momentum ini dapat dipertahankan.
Langkah ini bukan hanya soal angka produksi, tetapi juga tentang martabat bangsa yang mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Dengan strategi yang tepat dan komitmen yang kuat, Indonesia tidak hanya akan menjadi lumbung pangan bagi rakyatnya, tetapi juga pemain kunci di panggung pangan global.
0Komentar