Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan menyampaikan optimisme mengenai kondisi perekonomian nasional. Namun, di balik angka-angka makro yang stabil, para akademisi dan analis menyoroti masalah struktural yang berpotensi menghambat pertumbuhan jangka panjang.
Kemenkeu menyebutkan bahwa kekuatan ekonomi Indonesia saat ini bertumpu pada beberapa faktor fundamental yang kokoh. Dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa, pasar domestik menjadi kekuatan utama dalam menyerap guncangan eksternal, termasuk dari ketidakpastian global dan tekanan geopolitik.
Hal ini tercermin dari kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang mencapai 54,53% pada kuartal I-2025. Pertumbuhan ekonomi secara tahunan (yoy) juga masih positif di angka 4,87%, meskipun tidak sepenuhnya sesuai ekspektasi awal.
Kemenkeu juga menyoroti keberhasilan dalam menjaga inflasi yang berada di level 1,95% yoy—masih dalam target 2,5% ±1% yang ditetapkan pemerintah. Ini menjadi sinyal penting bagi kestabilan harga dan daya beli masyarakat.
Tak hanya itu, kondisi fiskal juga dinilai sehat. Peringkat utang Indonesia tetap berada dalam kategori investment grade oleh Moody’s, dengan status Baa2 dan prospek stabil. Di tengah gejolak ekonomi global, kepercayaan ini menjadi modal penting untuk menjaga arus investasi.
Struktur ekonomi Indonesia yang relatif terdiversifikasi juga menjadi nilai tambah. Industri pengolahan, perdagangan, pertanian, dan konstruksi masih menjadi pilar utama.
Sektor pertanian bahkan mencatat pertumbuhan impresif sebesar 10,52%, dengan kontribusi sebesar 12,66% terhadap PDB. Sementara itu, sektor pertambangan, meski masih berkontribusi hampir 9%, mencatatkan pertumbuhan negatif -1,23%.
Pasar tenaga kerja pun menunjukkan perbaikan. Terdapat peningkatan lapangan kerja untuk buruh dan pegawai, yang oleh pemerintah diartikan sebagai sinyal kepercayaan dunia usaha terhadap iklim investasi dan prospek ekonomi nasional.
Namun, di balik narasi positif tersebut, para akademisi memberikan catatan kritis yang tidak bisa diabaikan.
Kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga dan sektor manufaktur mengalami pelambatan. Ini menjadi indikasi awal bahwa daya beli dan produksi tidak tumbuh seiring dengan optimisme fiskal.
Lebih mencemaskan lagi, data menunjukkan penyusutan kelas menengah menjadi hanya 17,1%, level yang setara dengan kondisi tahun 2017.
Sebaliknya, jumlah kelompok rentan miskin meningkat drastis menjadi 24,2%. Ini mencerminkan ketimpangan dan keterbatasan distribusi hasil pertumbuhan ekonomi.
Salah satu sorotan utama adalah dominasi sektor informal dalam pasar tenaga kerja. Sebanyak 57,95% tenaga kerja masih berada dalam sektor ini pada tahun 2024—angka yang belum pulih ke kondisi sebelum pandemi.
Hal ini menandakan masih lemahnya penciptaan lapangan kerja formal yang mampu menjamin upah dan perlindungan sosial.
Indonesia juga tengah menghadapi tren deindustrialisasi. Kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB terus menurun, dari 27,81% pada 2008 menjadi hanya 18,67% di 2023.
Seiring dengan itu, struktur ekspor nasional semakin bergantung pada komoditas mentah ketimbang produk manufaktur bernilai tambah.
Masalah lainnya adalah rendahnya efisiensi investasi. Rasio Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia tercatat sebesar 6,4 pada 2023—jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata 4,3 pada periode 2005–2009.
ICOR yang tinggi mengindikasikan bahwa investasi yang ditanam belum mampu mendorong output secara optimal. Artinya, meskipun dana masuk, produktivitasnya rendah.
Melihat data dan tren tersebut, wajar jika ada kekhawatiran bahwa ekonomi Indonesia saat ini ibarat rumah megah dengan fondasi yang mulai retak di bawah permukaannya.
Pemerintah memang telah menunjukkan kerja keras dalam menjaga stabilitas makroekonomi, namun fondasi strukturalnya masih membutuhkan reformasi mendalam.
Tantangan ke depan bukan lagi sekadar mengelola angka inflasi dan pertumbuhan, melainkan bagaimana memastikan pemerataan, produktivitas, dan transisi ke struktur ekonomi yang lebih modern dan inklusif. Tanpa itu, stabilitas yang ada hari ini bisa menjadi ilusi yang mudah goyah saat badai ekonomi global berikutnya datang.
0Komentar