![]() |
Dolar AS menunjukkan tren pelemahan akibat tekanan ekonomi dan kebijakan fiskal, sementara rupiah berpeluang menguat. ( ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga) |
Nilai tukar rupiah diproyeksikan memiliki prospek penguatan yang cukup kuat pada paruh kedua tahun 2025. Proyeksi ini sejalan dengan tren pelemahan dolar Amerika Serikat (AS) dan meningkatnya arus masuk modal asing ke pasar keuangan domestik.
Namun, meski peluang terbuka, sejumlah faktor risiko—baik global maupun domestik—tetap menjadi tantangan besar bagi rupiah untuk melaju lebih jauh.
Analis dari TD Securities memperkirakan bahwa rupiah bisa menguat lebih dari 4% terhadap dolar AS hingga akhir tahun ini. Hal ini akan membawa rupiah dari level sekitar Rp16.440/US$ ke kisaran Rp15.700-an/US$.
ING Financial Market bahkan lebih optimistis, dengan prediksi penguatan menuju Rp15.200/US$. Citigroup Global Market juga memproyeksikan penguatan rupiah, meskipun lebih konservatif, yakni ke level Rp16.000/US$ tahun depan.
Pendorong utama dari penguatan ini adalah melemahnya posisi dolar AS di pasar global. Kinerja ekonomi AS yang berada di bawah ekspektasi, ditambah dengan sinyal dari Presiden Donald Trump yang secara terbuka lebih menyukai dolar yang lemah, mendorong investor global untuk melakukan diversifikasi aset.
Dolar AS bahkan diperkirakan bisa melemah hingga 5% pada akhir tahun, membuka peluang bagi penguatan mata uang lain, termasuk rupiah. Penurunan peringkat utang Amerika Serikat oleh lembaga pemeringkat Moody’s menambah daftar sentimen negatif terhadap aset berbasis dolar AS.
Sebagai konsekuensinya, investor global mulai mengurangi eksposur terhadap surat utang AS dan memindahkan dana mereka ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Ini memberi dorongan bagi penguatan rupiah di tengah ketidakpastian global.
Namun, seperti disampaikan analis TD Securities, Alex Loo, rupiah selama ini masih underperform dibandingkan mata uang Asia lainnya. Sehingga, ruang untuk penguatan tetap terbuka, apalagi jika momentum arus modal asing ke Indonesia terus terjaga.
Bank Indonesia (BI) juga memainkan peran kunci dalam menjaga stabilitas rupiah. BI diperkirakan akan menurunkan suku bunga acuan (BI-Rate) sebanyak 75 basis poin hingga akhir tahun, guna menyesuaikan kebijakan moneter dengan kondisi ekonomi domestik yang mengalami perlambatan.
Namun, langkah ini bisa menjadi pedang bermata dua—di satu sisi mendorong pertumbuhan, tetapi di sisi lain bisa mengurangi daya tarik rupiah di mata investor asing karena imbal hasil yang lebih rendah.
Di sisi lain, BI juga telah memperkenalkan instrumen baru seperti Surat Berharga Rupiah Indonesia (SRBI) untuk menarik dana asing ke dalam negeri.
Menurut laporan MUFG Research, SRBI terbukti efektif dalam menarik modal asing jangka pendek, sekaligus mendukung penguatan cadangan devisa.
Pasar saham dan obligasi Indonesia menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang kuat. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat terpukul akibat sentimen global, namun berhasil rebound dengan kenaikan lebih dari 19% sejak April.
Selama bulan Mei, investor asing mencatat net buy sekitar Rp1,9 triliun di pasar saham dan lebih dari Rp10 triliun di pasar surat utang. Data dari Bloomberg menunjukkan bahwa sejak awal tahun, investor asing telah mencatatkan akumulasi pembelian bersih (net buy) di pasar surat utang sebesar US$1,79 miliar.
Namun, penguatan rupiah tak sepenuhnya tanpa risiko. Salah satu tantangan terbesar datang dari sisi fiskal. Pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto telah menggulirkan program-program besar, seperti makan gratis bagi pelajar yang diperkirakan membutuhkan anggaran hingga US$28 miliar per tahun. Ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor mengenai kemampuan pemerintah menjaga disiplin fiskal.
Financial Times dalam artikelnya menyebutkan bahwa keberlangsungan program sosial tersebut dan meningkatnya beban belanja bisa membuat investor meragukan kredibilitas fiskal Indonesia.
Kekhawatiran semakin bertambah dengan spekulasi bahwa Menteri Keuangan Sri Mulyani akan meninggalkan jabatannya, serta dugaan intervensi politik dalam pengelolaan sovereign wealth fund (Lembaga Pengelola Investasi atau Danantara).
Menurut Brendan McKenna, ekonom dari Wells Fargo, “Jika ada sinyal bahwa pemerintah mengurangi belanja sosial dan memperkuat komitmen terhadap disiplin fiskal, maka nilai tukar rupiah bisa lebih stabil dan bahkan menguat lebih tajam dari yang diperkirakan.”
Rupiah memang punya peluang untuk mencatatkan kinerja yang solid pada paruh kedua 2025. Namun, jalan menuju penguatan yang berkelanjutan sangat ditentukan oleh faktor eksternal (pelemahan dolar AS, arus modal asing) dan internal (kebijakan BI, manajemen fiskal pemerintah).
Jika faktor-faktor tersebut dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin rupiah akan menjadi salah satu mata uang Asia dengan performa terbaik tahun ini.
0Komentar