Rupiah cetak penguatan tertinggi di Asia berkat angin segar dari The Fed

.

Karyawan menghitung uang dolar AS dan rupiahdi Jakarta, Jumat (11/10/2024). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Nilai tukar rupiah melaju positif pada pembukaan perdagangan pasar spot hari Jumat, yang juga menjadi penutup minggu ini, berkat sentimen dovish dari bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve, mengenai potensi pemangkasan suku bunga acuan paling cepat pada bulan Juni.

Rupiah dibuka menguat 0,3% ke level Rp16.820 per dolar AS dan sempat bergerak di kisaran Rp16.815. Hingga pukul 09:08 WIB, rupiah menguat lebih jauh ke Rp16.813 per dolar AS, menjadikannya mata uang dengan performa terbaik di Asia pagi ini. Di sisi lain, kurs rupiah non-deliverable forward (NDF) bergerak stabil di sekitar Rp16.817.

Penguatan rupiah turut diikuti oleh beberapa mata uang Asia lainnya seperti peso Filipina yang naik 0,27%, dolar Taiwan 0,05%, dan dolar Hong Kong 0,01%. Namun, mayoritas mata uang regional justru tertekan, dipimpin oleh yen Jepang yang turun 0,22%. Dolar Singapura dan won Korea Selatan masing-masing terkoreksi 9,16%, yuan Tiongkok 0,1%, yuan offshore 0,08%, serta ringgit dan baht yang masing-masing melemah 0,04% dan 0,01%.

Di sisi lain, indeks dolar AS pagi ini tampak stabil di kisaran 99,6 setelah mengalami penguatan dalam perdagangan semalam di Wall Street. Penguatan nilai tukar rupiah turut seiring dengan pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) yang juga melonjak 0,7% pada pembukaan hari ini.

Sementara itu, pasar obligasi Indonesia memperlihatkan pergerakan yield yang bervariasi. Imbal hasil tenor 2 tahun naik 0,5 basis poin, sedangkan tenor 5 tahun turun 1,7 bps, dan tenor 10 tahun turun 1,1 bps.

Secara global, kondisi pasar pada hari Jumat terlihat membaik, dipengaruhi oleh isyarat positif dari The Fed di tengah masih berlanjutnya ketegangan perdagangan global. Harapan pasar kini tertuju pada kemungkinan pemangkasan suku bunga acuan AS yang bisa terjadi pada Juni.

Isyarat tersebut mendorong minat risiko pelaku pasar, tercermin dari reli saham di Wall Street semalam yang membawa indeks S&P 500 melonjak lebih dari 2%. Wakil Gubernur The Fed Christopher Waller mengungkapkan kepada Bloomberg Television bahwa ia mendukung pemangkasan bunga jika tarif impor berdampak pada lapangan kerja. 

Hal serupa disampaikan oleh Gubernur The Fed Bank of Cleveland Beth Hammack dalam wawancara dengan CNBC, bahwa penyesuaian suku bunga bisa dilakukan secepatnya di bulan Juni jika data ekonomi menunjukkan arah yang jelas.

Sempat Tertekan

Sehari sebelumnya, rupiah ditutup melemah di pasar spot pada level Rp16.870 per dolar AS, menjadi penutupan terendah tahun ini. Sepanjang 2025, rupiah tercatat sebagai satu-satunya mata uang Asia yang masih mencatatkan pelemahan terhadap dolar AS.

Dibandingkan posisi akhir tahun lalu, nilai tukar rupiah telah terkoreksi 4,55% secara year-to-date, sementara sebagian besar mata uang regional justru berhasil mengungguli dolar yang kehilangan sekitar 8% nilainya dalam periode yang sama.

Tekanan terhadap rupiah terutama bersumber dari tingginya tekanan jual investor asing di pasar keuangan domestik, yang dipicu oleh kombinasi sentimen internal dan eksternal, termasuk konflik dagang yang terus berlanjut.

Performa rupiah dibanding mata uang Asia lain, sejauh ini menjadi yang terburuk (Bloomberg)

Data terakhir yang dihimpun oleh Bloomberg Technoz dari otoritas pasar menunjukkan bahwa selama bulan April saja telah terjadi arus keluar modal asing sebesar Rp61,06 triliun (month-to-date), yang turut menyeret rupiah turun hampir 2% sepanjang bulan ini.

Sebelum ketetapan tarif balasan diumumkan oleh Presiden Trump kepada sejumlah negara termasuk Indonesia, rupiah telah tertekan hingga 2,77% selama kuartal pertama tahun ini. Penyebab utama berasal dari ketidakpastian dalam negeri seperti arah kebijakan fiskal yang belum jelas, penurunan peringkat saham domestik, hingga spekulasi terkait pembentukan holding Danantara.

Beberapa analis menilai bahwa nilai tukar rupiah saat ini sudah jauh di bawah nilai fundamentalnya (undervalued).

“Kami melihat rupiah sudah sangat undervalued, sehingga ruang untuk pelemahan lanjutan menjadi terbatas. Bahkan bukan tidak mungkin rupiah akan mengejar ketertinggalannya dan mulai menguat dalam waktu dekat,” tulis Satria Sambijantoro, Kepala Riset Bahana Sekuritas, dalam risetnya.

Secara historis, sambung Satria, rupiah dikenal sebagai mata uang negara berkembang dengan sensitivitas pasar (beta) yang tinggi. Dalam periode sebelumnya, rupiah mampu terapresiasi 3%-5% hanya dalam hitungan minggu atau bahkan hari, seperti yang terjadi pada tahun 2020 dan 2024.

“Target kami untuk nilai tukar USD/IDR di kuartal kedua 2025 berada di level Rp16.300 per dolar,” ujarnya.


Lebih baru Lebih lama