![]() |
Wacana Soeharto jadi pahlawan nasional menuai pro-kontra. Titiek menyambut baik, publik debat soal jasa dan pelanggaran HAM. (Dok. Sekretariat Presiden) |
Wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, kembali mencuat ke publik. Putri Soeharto, Siti Hediati Hariyadi atau yang akrab disapa Titiek Soeharto, menyambut baik usulan tersebut. Dalam pernyataannya, Titiek menyebut keluarga besar Soeharto merasa bersyukur jika Presiden Prabowo Subianto berkenan menganugerahkan gelar tersebut, namun menegaskan bahwa mereka tidak akan memaksakan kehendak.
"Kalau Presiden berkenan memberikan gelar pahlawan nasional, kami tentu sangat bersyukur. Tapi bagi kami, dan jutaan rakyat yang mencintai Pak Harto, beliau sudah menjadi pahlawan dengan atau tanpa gelar," ujar Titiek dalam keterangan kepada media.
Soeharto, yang menjabat sebagai presiden selama 32 tahun, dikenal sebagai tokoh sentral dalam pembangunan nasional, khususnya di bidang pertanian, infrastruktur, dan stabilitas ekonomi. Pendukungnya menilai era Orde Baru membawa kemajuan signifikan bagi Indonesia, terutama di masa awal kepemimpinannya.
Namun, wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto tidak luput dari kontroversi. Masa kepemimpinannya juga diwarnai berbagai catatan pelanggaran hak asasi manusia, pembungkaman kebebasan sipil, serta dugaan kasus korupsi yang melibatkan keluarga dan kroninya.
Amnesty International Indonesia dengan tegas menyuarakan penolakannya terhadap rencana tersebut. Mereka menyebut bahwa sebelum memberikan gelar kehormatan kepada Soeharto, pemerintah seharusnya lebih dulu menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM berat yang terjadi di era Orde Baru, seperti Tragedi 1965-1966, penembakan misterius (petrus), kasus Tanjung Priok, penghilangan aktivis 1997-1998, dan lainnya.
"Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto berisiko mengabaikan rasa keadilan para korban dan keluarganya yang hingga kini belum mendapatkan kejelasan hukum dan pengakuan negara," ujar Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.
Dari pihak pemerintah, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyatakan bahwa tidak ada larangan atau masalah terhadap usulan tersebut. Ia menegaskan bahwa seluruh presiden Indonesia memiliki jasa bagi bangsa, dan penghargaan seperti gelar pahlawan nasional adalah bentuk apresiasi negara atas pengabdian mereka.
"Setiap presiden pasti punya jasa, kita harus melihat kepemimpinan mereka secara utuh. Gelar pahlawan bukan hanya soal kesempurnaan, tapi kontribusi besar yang telah diberikan," katanya.
Sementara itu, publik terbelah antara yang mendukung dan menolak. Di media sosial, sebagian masyarakat menyuarakan dukungan terhadap Soeharto yang mereka anggap sebagai “Bapak Pembangunan,” sementara sebagian lainnya mengingatkan bahwa negara tidak boleh melupakan sejarah kelam demi kepentingan politik atau romantisasi masa lalu.
Wacana ini kini menjadi bagian dari diskursus yang lebih luas tentang bagaimana bangsa ini memandang sejarahnya sendiri—antara mengenang jasa dan mengakui luka lama. Pemberian gelar pahlawan nasional kepada seorang tokoh besar seperti Soeharto bukan hanya soal penghargaan simbolik, tetapi juga soal rekonsiliasi sejarah dan keadilan.