![]() |
Kopdes Merah Putih dinilai belum mampu menggantikan peran tengkulak dan rentenir dalam ekonomi desa. (Yusuf Nugroho/Antara Foto) |
Pemerintah mengusung program Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih dengan harapan dapat menggantikan peran tengkulak dan rentenir yang selama ini menjadi tumpuan pembiayaan petani di desa. Namun, sejumlah ekonom menyatakan bahwa langkah ini tidak dapat terealisasi dalam waktu singkat.
Ekonom dari Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, menilai bahwa transformasi koperasi desa untuk menggantikan peran tengkulak memerlukan waktu panjang. Saat ini, jumlah koperasi desa yang aktif masih terbatas, diperkirakan hanya sekitar 4.000 koperasi yang benar-benar berjalan.
“Gapoktan yang berjumlah sekitar 64 ribu kelompok seharusnya bisa diarahkan menjadi koperasi. Namun, proses ini tidak bisa instan karena sebagian besar masih berfokus pada distribusi pupuk dan budidaya, belum sampai ke peran pembiayaan yang selama ini diambil alih oleh tengkulak,” jelas Tauhid.
Ia juga menyoroti aspek sosial dan ekonomi yang membuat posisi tengkulak sulit tergantikan. Menurutnya, hubungan antara petani dan tengkulak tidak hanya sekadar transaksi ekonomi, tapi juga melibatkan kepercayaan dan keterikatan sosial.
“Misalnya, ketika petani menghadapi gagal panen atau kebutuhan mendesak seperti biaya sekolah anak atau berobat, tengkulak kerap hadir memberikan pinjaman, meski dengan bunga tinggi. Belum tentu koperasi desa mampu memenuhi fungsi tersebut,” tambahnya.
Selain itu, Direktur Kebijakan Publik dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyu Askar, menilai bahwa permasalahan utama justru terletak pada desain kebijakan program ini. Menurutnya, dengan regulasi dan model pembiayaan saat ini, program Kopdes Merah Putih berpotensi menimbulkan ketidakefisienan anggaran.
Ia mengungkapkan, untuk membentuk 80 ribu koperasi desa dibutuhkan anggaran hingga Rp 400 triliun. Hal ini dikhawatirkan dapat menggerus dana desa yang seharusnya dialokasikan untuk kebutuhan prioritas masyarakat dan bahkan dapat mematikan eksistensi BUMDes yang telah lebih dahulu berkembang.
Askar juga menyoroti bahwa mewajibkan penerima bantuan sosial menjadi anggota Kopdes Merah Putih bertentangan dengan prinsip dasar koperasi yang seharusnya bersifat sukarela dan dibangun dari inisiatif anggota.
Berbeda pandangan, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, Henry Saragih, melihat Kopdes Merah Putih sebagai peluang besar untuk memperkuat posisi petani. Menurutnya, koperasi desa dapat mengambil alih peran tengkulak dan perusahaan besar yang selama ini dianggap tidak berpihak kepada petani.
“Tanah di desa sebaiknya dikelola langsung oleh rakyat melalui koperasi, bukan oleh perusahaan besar. Kopdes Merah Putih bisa menjadi sarana untuk itu,” ujarnya.
Namun Henry menekankan pentingnya keterlibatan langsung petani dalam pengelolaan koperasi, bukan dikendalikan oleh aparat pemerintah. Ia juga berharap pemerintah mendukung pertumbuhan koperasi lain yang telah lahir dari inisiatif masyarakat.
“Koperasi harus tumbuh dari bawah. Pemerintah cukup sebagai fasilitator, bukan pengelola utama,” pungkasnya