![]() |
Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengkritik kewajiban divestasi sebesar 51 persen bagi perusahaan asing di sektor pertambangan Indonesia. (Stockbit Snips) |
Pemerintah Amerika Serikat mengungkapkan keprihatinannya terhadap kebijakan divestasi saham di sektor pertambangan Indonesia, yang mewajibkan perusahaan asing melepas 51 persen saham kepada pemilik lokal. Kebijakan ini dinilai bisa menghambat arus investasi asing langsung (FDI) ke Tanah Air.
Pernyataan tersebut dimuat dalam laporan tahunan 2025 National Trade Estimate yang dirilis oleh Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR). Dalam dokumen tersebut, USTR menilai bahwa kebijakan divestasi menambah kompleksitas serta menciptakan ketidakpastian dalam iklim investasi Indonesia.
Aturan divestasi ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 yang kemudian diperbarui melalui PP Nomor 25 Tahun 2024. Berdasarkan regulasi tersebut, perusahaan tambang asing yang memperoleh izin usaha di Indonesia diwajibkan untuk melepas kepemilikan mayoritas sahamnya kepada entitas dalam negeri.
Tenggat waktu pelaksanaan divestasi ditentukan berdasarkan keberadaan fasilitas pemrosesan terintegrasi: 15 tahun bagi yang tidak memilikinya, dan 20 tahun untuk yang memiliki fasilitas tersebut.
Selain sektor tambang, USTR juga mencatat sejumlah sektor lain yang masih dibatasi bagi kepemilikan asing. Meskipun Daftar Negatif Investasi (DNI) 2016 telah dicabut melalui Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 dan diperbarui dengan Perpres Nomor 49 Tahun 2021, beberapa sektor strategis tetap memiliki batasan.
Beberapa di antaranya adalah penerbitan media cetak, layanan pos, dan transportasi darat, laut, serta udara, yang umumnya hanya memperbolehkan kepemilikan asing maksimal 49 persen.
Bahkan, untuk sektor penyiaran dan jasa keuangan tertentu, batas kepemilikan asing dibatasi hanya sampai 20 persen. Sektor lain seperti pengolahan ikan dan pembangunan kapal bahkan sepenuhnya tertutup bagi investasi asing.
USTR menyimpulkan bahwa meskipun ada upaya liberalisasi investasi di Indonesia, keberadaan berbagai persyaratan tambahan dari kementerian teknis masih menjadi tantangan.
Ketidakpastian hukum dan regulasi tersebut dinilai dapat menjadi faktor penghambat bagi masuknya investasi baru, terutama dalam sektor-sektor strategis seperti pertambangan.