![]() |
| Mengulas proyeksi umur cadangan batu bara Indonesia berdasarkan data 2024, produksi tahunan, dan tantangan eksplorasi untuk menjaga ketahanan energi nasional. (Pixabay) |
Indonesia masih memiliki cadangan batu bara sebesar 31,95 miliar ton per akhir 2024, berdasarkan Neraca Sumber Daya dan Cadangan Mineral dan Batu Bara Nasional 2025. Angka ini terdiri dari cadangan terbukti sebesar 17,54 miliar ton dan cadangan terkira 14,42 miliar ton.
Namun, jika tidak ada penemuan cadangan baru dan produksi tetap di kisaran 700 juta ton per tahun, umur cadangan batu bara nasional diproyeksikan hanya sekitar 45 tahun. Bahkan, dengan produksi tinggi seperti 2024 yang mencapai 836 juta ton, umur cadangan bisa turun menjadi 38 tahun.
Data juga menunjukkan dominasi batu bara kalori rendah dalam cadangan nasional. Dari total cadangan, 24,05 miliar ton adalah kalori rendah, 4,54 miliar ton kalori sedang, dan 3,35 miliar ton kalori tinggi. Sementara itu, sumber daya batu bara yang belum masuk kategori cadangan tercatat mencapai 97,96 miliar ton.
Produksi batu bara Indonesia menembus rekor pada 2024 dengan capaian sekitar 836 juta ton. Pemerintah menargetkan produksi 2025 sebesar 735 juta ton, dengan tujuan menstabilkan harga dan mengendalikan pasokan.
Meski target 2025 lebih rendah dibanding 2024, angka produksi nasional tetap besar. Dengan asumsi laju produksi konstan atau meningkat, tanpa penemuan cadangan baru, sisa umur cadangan akan terpangkas lebih cepat.
“Sisa umur ini mengasumsikan tidak ada tambahan cadangan baru, dan bahwa laju produksi tetap atau naik, eksplorasi untuk mineral dan batu bara harus ditingkatkan untuk menambah cadangan,” kata Djoko Widajatno, Dewan Penasihat Pertambangan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI).
Salah satu faktor utama yang membatasi penambahan cadangan adalah minimnya anggaran eksplorasi yang dialokasikan pemerintah. Hingga kini, Indonesia belum memiliki skema anggaran eksplorasi batu bara yang terpisah dan signifikan.
Berbeda dengan negara lain, termasuk Mesir, yang mengalokasikan anggaran eksplorasi secara khusus. Negeri di Afrika Utara itu bahkan berhasil meningkatkan nilai kekayaan sumber daya alamnya dari US$ 1,5 miliar menjadi US$ 3,5 miliar berkat program eksplorasi agresif.
“Terutama negara-negara maju, itu mereka menganggarkan biaya untuk eksplorasi, Pak, di negaranya. Termasuk Mesir,” ujar Tri Winarno, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM.
Tri Winarno mengakui, pemerintah saat ini belum mengalokasikan kapital eksplorasi secara langsung, dan lebih mengandalkan data eksplorasi yang dilakukan perusahaan tambang melalui Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB).
“Kita mengharap ada tambahan, tetapi kita sendiri tidak mengeluarkan kapital untuk itu. Kita ini, jujur saja, Pak, kalau misalnya terkait dengan eksplorasi, mestinya kita melakukan beberapa eksplorasi yang terutama pada daerah-daerah greenfield untuk apa sebetulnya? Untuk misalnya pencadangan negara,” jelas Tri.
Untuk 2025, lanjutnya, pemerintah akan memantau apakah dana eksplorasi yang dijanjikan dalam RKAB benar-benar digunakan.
“Untuk di RKAB, kami ini untuk tahun 2025, ini RKAB akan mengejar untuk dana eksplorasi mereka yang dijanjikan di RKAB. Nambah atau nggak cadangannya terhadap itu,” tegasnya.
Batu bara masih menjadi tulang punggung pasokan energi nasional. Sebagian besar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Indonesia menggunakan batu bara sebagai bahan bakar utama.
Ketergantungan tinggi ini membuat isu keberlanjutan cadangan batu bara menjadi strategis, tidak hanya untuk sektor energi, tetapi juga bagi penerimaan negara. Pada 2024, penerimaan negara dari sektor batu bara mencapai ratusan triliun rupiah, sebagian besar berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan royalti.
Tanpa cadangan baru, risiko pasokan akan semakin besar di masa depan, apalagi di tengah permintaan global yang masih tinggi untuk batu bara Indonesia, baik kalori rendah untuk pasar Asia Tenggara maupun kalori tinggi untuk pasar Jepang dan Korea Selatan.
Pengalaman Mesir menunjukkan bahwa investasi eksplorasi bisa memberi hasil signifikan. Dengan pendanaan yang memadai dan program eksplorasi terarah, Mesir mampu menggandakan nilai sumber daya alamnya hanya dalam beberapa tahun.
Negara-negara maju juga menempatkan eksplorasi sebagai prioritas strategis. Mereka menyalurkan dana besar untuk memastikan cadangan energi dan mineral tetap terjaga, sekaligus meminimalkan ketergantungan pada impor.
“Terutama negara-negara maju, itu mereka menganggarkan biaya untuk eksplorasi,” kata Tri Winarno menegaskan.
Untuk sektor migas, pemerintah Indonesia sudah mengalokasikan dana sekitar Rp 15 triliun per tahun dari APBN, ditambah US$ 2 miliar dari kontraktor melalui komitmen kerja pasti (firm commitment). Namun, skema ini belum diadopsi secara penuh untuk batu bara dan mineral lainnya.
Sebagian anggaran eksplorasi berasal dari PNBP Kementerian ESDM, tetapi alokasinya lebih difokuskan pada kegiatan migas. Sektor batu bara lebih mengandalkan pendanaan swasta, yang berarti jika perusahaan tidak memiliki rencana eksplorasi agresif, cadangan baru sulit ditemukan.
Eksplorasi greenfield wilayah yang belum pernah dieksplorasi sebelumnya menjadi kunci penambahan cadangan signifikan. Namun, biaya untuk kegiatan ini relatif besar, dan tingkat keberhasilannya tidak selalu tinggi.
Tri Winarno menegaskan, pemerintah seharusnya berperan aktif melakukan eksplorasi greenfield sebagai pencadangan negara. Tanpa langkah ini, cadangan yang ada hanya akan berkurang dari tahun ke tahun seiring produksi.
Program hilirisasi batu bara, seperti gasifikasi dan coal to methanol, memerlukan pasokan jangka panjang. Jika umur cadangan terbatas, investasi hilirisasi bisa terhambat karena investor mempertimbangkan ketersediaan bahan baku.
Kondisi ini menuntut strategi yang mengintegrasikan eksplorasi dengan program hilirisasi. Tanpa penambahan cadangan, target hilirisasi berpotensi tidak optimal.
Dengan cadangan yang secara teoritis hanya cukup untuk 38–45 tahun, waktu untuk memperkuat eksplorasi semakin terbatas. Laju produksi yang tinggi, terutama untuk memenuhi pasar ekspor, mempercepat pengurasan.
Kebijakan fiskal dan investasi eksplorasi yang jelas diperlukan agar Indonesia tidak menghadapi krisis pasokan batu bara di masa depan. Tanpa itu, ketahanan energi nasional bisa terganggu, sekaligus mengurangi kontribusi sektor ini terhadap penerimaan negara.
Artikel ini ditulis berdasarkan data resmi dari Kementerian ESDM, laporan produksi batu bara 2024, pernyataan pejabat terkait, data RKAB perusahaan tambang, studi eksplorasi internasional, statistik Badan Geologi, serta kajian anggaran eksplorasi dan riset energi nasional.

0Komentar