Laporan Trade Barrier Index 2025 menempatkan Indonesia di posisi paling bawah dari 122 negara. (Istimewa)

Indonesia kembali menjadi sorotan dunia internasional setelah laporan terbaru Trade Barrier Index (TBI) 2025 yang dirilis oleh Tholos Foundation menempatkannya sebagai negara dengan hambatan perdagangan tertinggi di dunia. Dari 122 negara yang dianalisis, Indonesia berada di posisi terbawah, mencerminkan kompleksitas dan tantangan besar dalam kebijakan perdagangannya.

Salah satu faktor utama di balik peringkat rendah ini adalah penerapan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), yang secara prinsip bertujuan mendorong kemandirian industri lokal. Namun, dalam praktiknya, kebijakan ini dinilai terlalu membatasi akses terhadap produk dan teknologi global. 

Akibatnya, perusahaan internasional harus memenuhi persyaratan kompleks untuk masuk ke pasar domestik, dan hal ini memengaruhi konsumen serta pelaku usaha dalam negeri.

Sebagai contoh, kasus tertundanya masuknya iPhone 16 ke pasar Indonesia menjadi simbol dari bagaimana regulasi lokal bisa memperlambat arus teknologi terbaru. 

Bagi konsumen, hal ini berarti pilihan yang lebih terbatas. Bagi industri, ini mengindikasikan betapa beratnya integrasi dengan rantai pasok global yang kini semakin digital dan terstandarisasi secara internasional.

Data dari Tholos Foundation menunjukkan bahwa Indonesia mencetak skor yang rendah dalam pilar tarif (7,11) dan pembatasan layanan (7,44). Angka ini jauh dari negara-negara yang menjadi teladan dalam perdagangan bebas seperti Hong Kong dan Singapura. 

Secara global, laporan TBI juga mengungkap tren meningkatnya proteksionisme, tercermin dari naiknya rata-rata skor dunia dari 3,95 menjadi 4,22. Namun, alih-alih mengikuti arus liberalisasi yang sehat, Indonesia justru menunjukkan kecenderungan memperketat aturan—terutama dalam bentuk safeguards dan regulasi digital.

Dari sisi pemerintah, Kementerian Perindustrian menilai bahwa Indonesia sebenarnya memiliki jumlah hambatan non-tarif (NTB) dan langkah teknis non-tarif (NTM) yang lebih sedikit dibandingkan banyak negara lain seperti Tiongkok, India, atau Uni Eropa. 

Namun, justru karena sedikitnya perlindungan ini, produk dalam negeri kerap kesulitan bersaing, baik di pasar lokal maupun global. Pemerintah kini mendorong penguatan kebijakan proteksi yang tetap sesuai dengan ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Namun, persoalan mendasarnya bukan hanya pada jumlah regulasi, melainkan pada efektivitas dan arah kebijakan. Ekonom Alvin Desfiandi dari Center for Market Education (CME) menyebut bahwa kebijakan TKDN malah memperbesar biaya produksi dan mengurangi efisiensi. 

Menurutnya, perlindungan industri seharusnya bersifat strategis dan berskala sementara, bukan menjadi penghalang jangka panjang bagi transformasi ekonomi.

Di tengah era digital dan keterhubungan global, terlalu kuatnya perlindungan bisa menjadi bumerang. Alih-alih menciptakan industri mandiri, yang terjadi justru isolasi dari inovasi dan pasar luar. 

Negara-negara yang sukses memajukan industrinya bukan yang paling menutup diri, melainkan yang mampu membangun daya saing melalui investasi teknologi, sumber daya manusia, dan kemudahan berusaha.

Indonesia menghadapi dilema klasik: bagaimana melindungi industri nasional tanpa mengorbankan daya saing global. Pendekatan protektif memang penting di fase awal pembangunan industri, namun harus disertai roadmap transisi menuju keterbukaan. Jika tidak, kita berisiko terjebak dalam proteksionisme permanen yang justru memperlambat kemajuan.

Momen ini seharusnya menjadi refleksi bahwa kebijakan ekonomi tak bisa berdiri sendiri. Ia harus seirama dengan perkembangan teknologi, tren perdagangan internasional, dan kepentingan jangka panjang bangsa. 

Transparansi, keberanian mereformasi, serta dialog terbuka antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat menjadi kunci dalam merumuskan arah kebijakan ke depan.