![]() |
Suasana gedung-gedung bertingkat di Jakarta. (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra) |
Dalam laporan terbarunya, Bank Dunia menggarisbawahi sejumlah tantangan krusial yang harus dihadapi Indonesia agar bisa menjadi negara maju pada tahun 2045. Meskipun pada 2023 Indonesia telah naik ke kategori negara berpendapatan menengah atas, pertumbuhan ekonomi perlu dipercepat agar status negara berpendapatan tinggi dapat dicapai. Target pertumbuhan ekonomi pemerintah sebesar 8 persen pada 2029 menjadi kunci, dengan peningkatan investasi sebagai salah satu upayanya.
Laporan itu menyebutkan bahwa pertumbuhan yang stabil dan penurunan angka kemiskinan selama ini banyak ditopang oleh kuatnya permintaan dalam negeri. Namun, untuk mencapai lompatan lebih besar, reformasi struktural yang mendalam tetap diperlukan guna meningkatkan produktivitas dan mencegah risiko ekonomi yang terlalu panas (overheating).
Salah satu perhatian utama Bank Dunia adalah melambatnya produktivitas nasional. Meski stabil secara makroekonomi, pertumbuhan produktivitas Indonesia menurun, dari 2,3 persen pada awal dekade 2010-an menjadi 1,2 persen menjelang 2024. Hal ini menunjukkan bahwa alokasi sumber daya ke sektor produktif masih belum optimal, akibat hambatan struktural yang ada.
Untuk memperbaiki situasi ini, Bank Dunia mendorong reformasi guna meningkatkan efisiensi, termasuk penguatan sektor keuangan serta perbaikan dalam iklim investasi, perdagangan, dan dunia usaha.
Di sisi fiskal, rasio penerimaan negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang hanya 12,7 persen pada 2024 tergolong rendah dibandingkan negara lain di kelas yang sama. Ditambah lagi, potensi kehilangan penerimaan pajak diperkirakan mencapai 6,4 persen dari PDB, yang jika ditutup, dapat memperluas ruang fiskal untuk mendukung Visi Indonesia 2045.
![]() |
Pekerja menyelesaikan pembangunan gedung bertingkat di Jakarta. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay) |
Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 berada di kisaran 5 persen, terutama didukung oleh konsumsi domestik. Sementara itu, pengeluaran pemerintah yang meningkat selama masa pemilu turut menahan dampak negatif dari turunnya ekspor akibat penurunan harga komoditas. Sektor jasa menjadi penggerak utama ekonomi, namun sektor manufaktur, seperti tekstil, mengalami perlambatan dan menyebabkan peningkatan PHK hingga 20,2 persen.
Inflasi nasional menurun menjadi 2,3 persen pada 2024 berkat pulihnya produksi pertanian dan kebijakan stabilisasi harga. Kebijakan subsidi listrik sementara di awal 2025 juga membantu menjaga inflasi tetap terkendali. Di saat yang sama, kenaikan upah riil sebesar 3,3 persen, terutama di sektor pertanian, berkontribusi pada penurunan tingkat kemiskinan hingga ke angka 15,6 persen.
Tingkat pengangguran menurun ke 4,8 persen, lebih baik dari periode sebelum pandemi. Namun, pekerjaan berkualitas masih menjadi tantangan, terlihat dari meningkatnya angka setengah pengangguran menjadi 8,5 persen pada awal 2024.
Dalam kebijakan fiskal, pemerintah memilih tidak menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada 2025. Sebagai gantinya, efisiensi belanja dilakukan dengan mengalihkan anggaran ke program prioritas serta pembentukan dana kekayaan negara baru bernama Danantara. Namun, penerimaan pajak menurun 0,4 persen poin akibat turunnya harga komoditas dan gangguan sistem administrasi perpajakan yang baru diterapkan.
Dari sisi eksternal, defisit transaksi berjalan melebar menjadi 0,6 persen dari PDB pada 2024 karena memburuknya terms-of-trade. Tekanan terhadap rupiah menyebabkan depresiasi 2,3 persen hingga Maret 2025. Meski begitu, kebijakan repatriasi devisa dari ekspor sumber daya alam membantu menjaga kestabilan cadangan devisa, yang kini cukup untuk membiayai impor selama hampir tujuh bulan.