China tembus 1.482 GW energi terbarukan, salip pembangkit fosil

.

Foto dari udara yang diabadikan pada 15 Desember 2021 ini menunjukkan sejumlah karyawan memeriksa pembangkit listrik fotovoltaik 550 megawatt di Wenzhou, Provinsi Zhejiang, China timur. (Xinhua/Xu Yu)


China mencatat tonggak bersejarah dalam transisi energinya. Pada akhir Maret 2025, kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga angin dan surya di negara tersebut mencapai 1.482 gigawatt (GW), melampaui kapasitas pembangkit berbahan bakar fosil untuk pertama kalinya, menurut data Badan Energi Nasional China yang dilansir Reuters, Jumat (25/4/2025).

Meskipun terus mengoperasikan dan bahkan membangun pembangkit listrik tenaga batu bara baru—yang dikenal menghasilkan emisi karbon tinggi—China juga mempercepat pengembangan energi bersih. Dalam beberapa tahun terakhir, pemasangan kapasitas baru energi terbarukan tumbuh pesat dan mencatatkan rekor baru.

China sebelumnya menargetkan kapasitas gabungan energi angin dan surya sebesar 1.200 GW pada 2030. Target itu tercapai enam tahun lebih cepat, yakni pada 2024, mendorong desakan agar pemerintah meningkatkan ambisinya. Namun, meski kapasitas terpasang kini mendominasi, distribusi listrik dari energi terbarukan ke konsumen masih tertinggal.

Badan Energi Nasional mencatat bahwa pada kuartal pertama 2025, hanya 22,5 persen listrik yang disalurkan berasal dari angin dan surya. Hal ini terjadi karena jaringan listrik nasional masih memprioritaskan pembangkit berbahan bakar fosil.

Selain itu, pasar ekspor turbin angin dan panel surya buatan China mengalami penurunan, didorong oleh meningkatnya proteksionisme global, menurut laporan lembaga investasi Natixis. Sebagai respons, China mengalihkan sebagian besar produksi energi terbarukan untuk pasar domestik, meski sistem distribusi dalam negeri belum sepenuhnya siap. Akibatnya, banyak energi hijau yang terbuang.

Sementara itu, pembangunan pembangkit batu bara baru justru semakin cepat. Sepanjang tahun ini saja, kapasitas tambahan dari pembangkit batu bara di China mencapai 99,5 GW. Pemerintah beralasan bahwa batu bara tetap dibutuhkan untuk menjaga stabilitas pasokan listrik, mengingat energi terbarukan bergantung pada kondisi cuaca.

Saat ini, China tercatat sebagai negara dengan emisi karbon dioksida (CO₂) terbesar di dunia, sekaligus operator armada pembangkit batu bara terbesar. Meski demikian, pemerintah berkomitmen mulai menurunkan konsumsi batu bara antara 2026 hingga 2030, serta memastikan emisi karbonnya mencapai puncak sebelum akhir dekade ini.

China juga telah berjanji dalam kerangka Perjanjian Paris untuk menurunkan intensitas karbon—yakni jumlah emisi per unit PDB—sebesar 65 persen dibandingkan level tahun 2005, sebelum 2030. Namun, menurut Lauri Myllyvirta dari Asia Society Policy Institute, realisasi target tersebut masih jauh dari harapan. Ia memperingatkan bahwa ekspansi pembangkit batu bara baru berpotensi menghambat pertumbuhan energi bersih di China.

"Setelah beberapa tahun kemajuan lambat, memenuhi janji iklim utama China akan menjadi tantangan besar," ungkap Myllyvirta dalam laporan Dialogue Earth yang dirilis Kamis (24/4/2025).

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama