Aksi Hacker rugikan Investor Jepang hingga Rp11,9 triliun

.

Bursa saham di dalam gedung Kabuto One di Tokyo, Jepang. (Toru Hanai/Bloomberg)

Jepang tengah dilanda skandal besar terkait penipuan di pasar saham. Sejumlah peretas membajak akun-akun investor di platform pialang daring dan menggunakannya untuk menaikkan harga saham berisiko rendah (penny stocks) di berbagai negara. Sejak Februari 2025, nilai transaksi mencurigakan yang terdeteksi telah melebihi ¥100 miliar atau sekitar US$710 juta (sekitar Rp11,98 triliun), dan tren ini masih menunjukkan peningkatan.

Modus yang digunakan para pelaku umumnya melibatkan pembobolan akun investor ritel, lalu pembelian saham dengan volume rendah di pasar Jepang maupun luar negeri. Tujuannya adalah menaikkan harga saham tersebut agar dapat dijual kembali oleh pihak yang telah mengakumulasi sebelumnya dengan keuntungan signifikan.

Sebagai bentuk respons, beberapa perusahaan sekuritas di Jepang menghentikan pemrosesan pembelian atas saham-saham tertentu dari AS, China, dan Jepang. Delapan perusahaan pialang besar, seperti Rakuten Securities, SBI Securities, dan SMBC Nikko Securities telah melaporkan aktivitas ilegal tersebut di platform mereka.

Peristiwa ini membuka sorotan terhadap lemahnya sistem perlindungan investor di sektor daring, serta menjadi hambatan bagi pemerintah Jepang yang tengah mendorong masyarakat untuk berinvestasi sebagai persiapan masa pensiun.

Jumlah scam atau penipuan di Jepang meningkat di tengah pertumbuhan transaksi saham. (Bloomberg)

Salah satu korban, Mai Mori (41), yang bekerja paruh waktu, kehilangan 12% aset investasinya setelah akunnya di Rakuten Securities diretas dan digunakan untuk membeli saham dari China senilai ¥639.777. Saat melapor ke pihak berwenang, ia justru diberitahu bahwa pihak Rakuten-lah yang dianggap sebagai korban secara hukum.

"Polisi bilang bahwa dalam banyak kasus, korban penipuan harus menerima kenyataan seperti ini," ujarnya. Rakuten sendiri menyatakan tidak bisa membantu lebih lanjut karena tidak menemukan kesalahan di sistem mereka.

Sikap serupa juga ditunjukkan oleh pialang lain, yang umumnya memilih menangani kasus secara individual, atau mengikuti pedoman industri tanpa jaminan kompensasi.

Seorang investor lainnya di Tokyo, yang memilih tetap anonim, mengungkapkan kerugian sekitar ¥50 juta akibat peretasan. Akunnya digunakan untuk membeli saham margin di Jepang dan China, hingga akhirnya ia terpaksa melikuidasi asetnya setelah mengalami kerugian besar. Salah satu saham yang dibeli dari akun tersebut adalah DesignOne Japan Inc., yang mencatat lonjakan volume transaksi drastis pada 16 April.

Sebagai langkah penanganan, Menteri Keuangan Katsunobu Kato meminta perusahaan-perusahaan sekuritas untuk membuka ruang diskusi terkait kompensasi kepada korban. Asosiasi Pedagang Efek Jepang (JSDA) juga menyerukan kewajiban penggunaan autentikasi multifaktor untuk meningkatkan keamanan akun nasabah.

Kenaikan nilai investasi skala ritel di pasar saham Jepang. (Bloomberg)

Toshio Morita, Ketua JSDA, menyayangkan sikap sejumlah perusahaan yang menolak memberikan kompensasi. Menurutnya, meskipun setiap perusahaan memiliki kebijakan sendiri, penolakan menyeluruh tidak bisa dibenarkan. "Perusahaan perlu memperhatikan kondisi nasabah dan memberikan respons yang sesuai," ujarnya dalam konferensi pers 16 April 2025.

Japan Financial Services Agency mencatat lonjakan kasus penipuan saham yang signifikan: dari hanya 33 kasus pada Februari menjadi 736 kasus dalam dua minggu pertama April. Meski demikian, jumlah total kerugian belum diumumkan secara resmi.

Program pembebasan pajak untuk investasi ritel, yang semula dirancang untuk mendorong partisipasi publik melalui Nippon Individual Savings Accounts (NISA), memang berhasil meningkatkan jumlah pengguna sebesar 20% pada akhir 2024. Namun, menurut Yusuke Maeyama dari NLI Research Institute, kepercayaan publik mulai menurun, sehingga target 34 juta pengguna dalam lima tahun kemungkinan sulit tercapai.

"Bagi kami yang sudah berinvestasi, ini jadi pengingat bahwa perusahaan keuangan harus menjalankan tanggung jawabnya," ujar Maeyama. "Sementara bagi yang belum, kejadian seperti ini hanya akan memperkuat keraguan mereka."

Pakar keamanan siber Nobuhiro Tsuji dari SB Technology mengungkapkan bahwa pelaku memanfaatkan teknik adversary-in-the-middle untuk mencuri cookie login dari situs palsu yang menyerupai situs resmi pialang. Selain itu, malware jenis infostealer juga digunakan untuk mencuri kredensial dari perangkat korban secara diam-diam.

Studi dari Macnica Security menyebutkan setidaknya ada 105.000 kasus kebocoran kredensial di Jepang. Salah satu penyebabnya adalah kecenderungan masyarakat menggunakan layanan pialang berbasis web browser, yang cenderung lebih rentan dibanding aplikasi seluler.

Mai Mori sempat bergabung dengan komunitas korban dan mempertimbangkan tindakan hukum kolektif, namun akhirnya mengurungkan niat karena kendala biaya dan waktu. Kini ia mempertimbangkan menutup akunnya. "Kami benar-benar tidak berdaya," katanya. "Rasanya sia-sia."

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama